Pencarian
Bahasa Indonesia
  • English
  • 正體中文
  • 简体中文
  • Deutsch
  • Español
  • Français
  • Magyar
  • 日本語
  • 한국어
  • Монгол хэл
  • Âu Lạc
  • български
  • Bahasa Melayu
  • فارسی
  • Português
  • Română
  • Bahasa Indonesia
  • ไทย
  • العربية
  • Čeština
  • ਪੰਜਾਬੀ
  • Русский
  • తెలుగు లిపి
  • हिन्दी
  • Polski
  • Italiano
  • Wikang Tagalog
  • Українська Мова
  • Lainnya
  • English
  • 正體中文
  • 简体中文
  • Deutsch
  • Español
  • Français
  • Magyar
  • 日本語
  • 한국어
  • Монгол хэл
  • Âu Lạc
  • български
  • Bahasa Melayu
  • فارسی
  • Português
  • Română
  • Bahasa Indonesia
  • ไทย
  • العربية
  • Čeština
  • ਪੰਜਾਬੀ
  • Русский
  • తెలుగు లిపి
  • हिन्दी
  • Polski
  • Italiano
  • Wikang Tagalog
  • Українська Мова
  • Lainnya
Judul
Naskah
Berikutnya
 

Di mana Menemukan Tempat Berlindung dalam Tradisi Keagamaan yang Baik, Bagian 6 dari 11

Details
Unduh Docx
Baca Lebih Lajut
Si Thích Nhật Từ, yang disebut biksu ini, bukanlah biksu. Dia adalah biksu palsu. Biksu sungguhan tidak berbicara menentang Buddha. Karena dia, dalam satu penyangkalan terhadap Surga Barat Buddha Amitābha, dia juga menyangkal semua Surga lainnya dari semua Buddha lainnya. Karena kita memiliki banyak Buddha dan masing-masing dari Mereka menciptakan Surga Mereka masing-masing untuk umat Mereka. Jadi, dengan mengatakan tidak ada Tanah Buddha Amitābha, dia menyangkal semua Surga dari para Buddha lainnya. Dan dia juga menyangkal keberadaan Buddha Shakyamuni. Jadi dia benar-benar menentang ajaran Buddha dalam satu kata.

Dan dengan mengatakan tidak ada neraka, dia mendorong orang untuk tidak takut pada karma, tidak takut pada balasannya. Dan mereka dapat melakukan hal yang buruk atau perbuatan jahat kepada orang lain atau melawan hukum pemerintah, karena mereka tidak peduli. Jadi, Anda lihat, ini benar-benar tidak dapat diterima. Pikirkanlah sendiri hal itu. Dan jika orang-orang yang biasanya melafalkan Nama Buddha Amitābha, dan memvisualisasikan Tanah Buddha sepanjang hidup mereka, tiba-tiba sekarang mengikuti biksu ini yang mengatakan bahwa tidak ada Tanah Buddha Amitābha, tidak ada Tanah Surga Barat, maka mereka akan kehilangan segalanya. Mereka akan kehilangan semua energi, keyakinan yang telah mereka bangun sepanjang hidup mereka. Dan ke mana mereka akan pergi? Tiba-tiba mereka jatuh ke dalam ketiadaan. Dan mereka akan tersesat; terlahir kembali di dunia ini atau bahkan masuk neraka, karena mereka tidak percaya lagi kepada Sang Buddha.

Jika Anda tidak percaya kepada para Buddha, kepada siapa lagi Anda harus percaya? Kepada siapa lagi Anda harus bergantung untuk menyelamatkan hidup Anda, untuk mengeluarkan Anda dari kubangan lumpur eksistensi ini dan menyelamatkan Anda dari neraka? Jadi saya minta kepada semua biksu dan biksuni lainnya untuk jangan pernah mengatakan hal-hal seperti, “tidak ada neraka, tidak ada Tanah Buddha Amitābha”, atau Tanah Buddha lainnya, karena Anda sendiri akan masuk ke neraka yang paling dalam. Saya jamin bahwa saya mengatakan kebenaran. Tuhan adalah Saksi saya, para Buddha adalah Saksi saya. Anda harus mendorong orang-orang untuk melafalkan Nama Buddha Amitābha, karena Sang Buddha mengatakan itu secara pribadi, mengajarkan itu secara pribadi, dan menggambarkan semua keindahan Tanah tersebut untuk Anda sehingga jika Anda membayangkannya, Anda akan pergi ke sana.

Anda melafalkan Nama-Nama tersebut dan Anda bahkan mungkin melihat Buddha Amitābha dalam kehidupan ini, dan Anda bahkan dapat pergi ke Surga Barat dalam kehidupan ini. Maksud saya, tentu saja tidak setiap hari, tetapi sesekali Anda akan melihat sekilas, atau Anda akan diundang untuk berada di sana selama beberapa menit, beberapa jam.

Ada seorang biksu. Dia kepala di sebuah wihara. Saya pernah baca di suatu tempat... Saya lupa namanya sekarang, tapi Anda akan melihatnya. Saya akan meminta mereka untuk memasukkan nama biksu itu, wihara dan ceritanya untuk Anda. Dia, selagi masih hidup, pergi ke Tanah Buddha Amitābha dengan bantuan Bodhisatwa Quan Yin. Keseluruhan kisahnya, dia catat; dia telah menuliskannya untuk para pengikutnya. Dan banyak biksu dan pengikut agama Buddha yang mengenalnya dan mengenal wihara itu, mengetahui kisah ini.

Dia pergi hanya satu hari ketika dia dalam semadi. Dan dia berjalan bersama Bodhisatwa Quan Yin, Yang muncul sebagai biksu, biksu yang lebih tua, jadi dia tak tahu soal itu sampai setelahnya. Dia pergi mengunjungi tempat-tempat di Tanah Surga Barat Buddha Amitābha. Dan dia kembali hidup-hidup, dan semua orang terkejut melihatnya karena waktu dia menghilang adalah enam tahun lima bulan. Tetapi baginya, itu hanya satu hari. Jadi, orang-orang bahkan menyatakan bahwa dia telah meninggal, karena pada saat itu juga belum ada kebebasan beragama.

Dan beberapa agen pemerintah atau polisi telah datang sebelumnya ke wiharanya dan mengancamnya, mencacinya dan memfitnahnya dengan berbagai cara, dan mengancam bahwa mereka akan datang kembali untuk dia. Jadi ketika biksu suci ini menghilang, semua orang mencarinya di 100 gua dan 10 penjuru dan tidak dapat menemukannya. Jadi kemudian, lama setelah itu, mereka harus menyatakan dia telah meninggal. Dan mereka juga berpikir mungkin pemerintah telah membawanya pergi. Dan setelah memeriksa ke mana-mana, mereka tidak dapat menemukannya bersama pemerintah, jadi mereka menyatakan dia telah meninggal. Jadi, bayangkan ketika dia kembali dan masih hidup di depan wihara, betapa itu merupakan kejutan besar bagi mereka. Dia orang yang hidup, dan dia seorang biksu dan kepala wihara yang dihormati di wihara yang sangat terkenal. Jadi dia tak akan berani berbohong, hal seperti ini, dan untuk apa? Jadi dia kembali dan menjelaskan secara rinci perjalanannya.

Kutipan dari “REALITAS VIRTUAL YANG PALING REALISTIS: Perjalanan ‘6 Tahun dan 5 Bulan’ di Tanah Suci Barat” : Kisah kita dimulai pada pertengahan abad ke-20, ketika ada seorang biksu bernama Shi Kuan Jing yang merupakan kepala wihara di Wihara Mai Xie Yan. Pada tanggal 25 Oktober 1967, seorang biksu buru-buru keluar dari ruang meditasi Guru Kuan Jing, mengumumkan kepada para biksu di wihara itu sebuah berita mengejutkan bahwa sang Guru telah menghilang! Pada saat itu, itu adalah tahun kedua Revolusi Kebudayaan, jadi seorang biksu segera berpikir, “Oh, beberapa hari yang lalu sekelompok Pengawal Merah yang ganas menyerbu masuk wihara, mungkinkah itu terkait dengan ini?” Meskipun para Pengawal Merah tidak menghancurkan wihara itu, mereka bergegas langsung ke Guru Kuan Jing dan memarahi dia, mengucapkan kata-kata yang sangat kasar, dan juga berkata, “Kamu tunggu di sana, jangan pergi ke mana pun, kami akan kembali dalam beberapa hari.” Kemudian kelompok Pengawal Merah itu pergi dengan arogan.

Tim pencari dengan hati-hati mencari ke lebih dari 100 gua di Gunung Yunju, tetapi masih tidak dapat menemukan jejak sang Guru. Orang-orang bahkan mengerahkan tim penyelamat untuk mencari di sejumlah waduk dan telaga di sana, mencari di mana-mana, tetapi tidak dapat menemukan jejaknya sedikit pun. Pada akhirnya, pihak wihara dengan berat hati hanya bisa mengumumkan kepada dunia luar bahwa Guru Kuan Jing telah meninggal dunia.

Waktu berlalu. Suatu hari di tahun 1973, seperti hari-hari biasanya, para biksu di Wihara Mai Xie Yan memulai kesibukan pada pukul 4 pagi. Ketika para biksu menyapu halaman dan membuka pintu gerbang, semua orang tercengang. Guru Kuan Jing, yang telah hilang selama lebih dari 6 tahun, berdiri tepat di depan pintu gerbang dan tersenyum. Biksu senior itu membuka pintu gerbang dan tertegun untuk waktu yang lama sebelum dia dapat berkata, “Kepala Wihara telah kembali!” Kali ini, seluruh wihara itu seakan meledak, semua orang berkumpul, bertanya tanpa henti; semua orang ingin tahu, mengapa dia telah menghilang selama bertahun-tahun, dan kemanakah dia pergi?

Sang Guru berkata bahwa enam tahun yang lalu, ketika dia sedang duduk di ruang meditasinya, tiba-tiba dia mendengar seseorang memanggil namanya. Sang Guru sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan dia juga tak bertanya mengapa, tetapi samar-samar mengikuti suara itu keluar dari wihara. Meskipun pikirannya agak kabur, sang Guru tahu dengan jelas di dalam hatinya bahwa dia akan melakukan perjalanan ke Kabupaten Dehua. Kabupaten Dehua, Fujian berjarak lebih dari 100 kilometer dari Wihara Mai Xie Yan. Di daerah tersebut terdapat Gunung Jiuxian, di mana terdapat Gua Maitreya kecil, di dalamnya terdapat patung Buddha Maitreya dari Dinasti Tang. Guru Kuan Jing berjalan tanpa lelah. Ketika hampir sampai di distrik Dehua, dia bertemu dengan seorang biksu tua yang menyebut dirinya “Guru Yuan Guan”. Guru Yuan Guan mengajaknya pergi ke gunung Jiuxian bersama-sama. Yang mengejutkan Guru Kuan Jing adalah bahwa Yang Mulia Yuan Guan ini sepertinya mengetahui segalanya, termasuk di mana Guru Kuan Jing bereinkarnasi di kehidupan sebelumnya dan siapa namanya di kehidupan sebelumnya. Dia dapat menceritakannya dengan jelas.

Saat sedang berbicara, mereka berdua tiba di depan Gua Maitreya, dan Kuan Jing melihat sebuah pemandangan yang lebih mengejutkannya. Sebuah wihara yang megah muncul di depan matanya, dengan dua stupa di kedua sisi gerbang wihara. Setelah Kuan Jing dan yang lainnya memasuki gerbang gunung itu, Guru Agung Yuan Guan mengatakan kepadanya bahwa tujuan pertama dari perjalanan ini adalah Surga Tuṣita, untuk mengunjungi Gurunya, Guru Zen Xu Yun. Surga Tuṣita adalah Surga Keempat dari Enam Surga Alam Keinginan yang disebutkan dalam ajaran Buddha. Menurut kitab suci agama Buddha, Surga Tuṣita juga dibagi menjadi Pelataran Dalam dan Pelataran Luar. Pelataran Dalam adalah Tanah Suci Bodhisatwa Maitreya, tempat Bodhisatwa Maitreya sering tinggal dan mengajarkan Dharma. Hanya makhluk hidup yang memiliki afinitas dengan Bodhisatwa Maitreya yang dapat bereinkarnasi ke Pelataran Dalam Surga Tuṣita. Mendengar berita ini, Guru Agung Kuan Jing sangat gembira.

Guru Agung Yuan Guan tertawa dan berkata: “Sebenarnya, bukan berarti doa itu tidak ada, tetapi sifat alamiahmu tertutup oleh rintangan karma yang tak terhitung jumlahnya, sehingga kamu tidak dapat melihat. Saat kamu dengan tulus melafalkan mantra tersebut, rintangan karma akan lenyap dan kamu akan bisa melihat”. Setelah mengatakan itu, Guru Agung Yuan Guan menyuruh Kuan Jing melanjutkan membaca mantra itu. Tiba-tiba, dua bunga teratai muncul di bawah kaki mereka. Mereka berdua seperti menunggang awan dan angin, bergerak maju dengan cepat. Pemandangan luar biasa di sekeliling mereka berangsur-angsur surut, sampai mereka tiba di depan sebuah istana yang megah. Di pintu gerbang, ada lebih dari 20 biksu yang mengenakan jubah sutra merah menyambut mereka berdua.

Pemimpinnya tidak lain adalah Guru dari Kuan Jing, Guru Zen Xu Yun. Kuan Jing sangat terharu sampai hampir menangis. Dia berjalan mendekat dan berlutut di hadapan Gurunya. Guru Zen Xu Yun membantunya berdiri dan tersenyum sambil bertanya: “Apakah kamu tahu siapa Guru Yuan Guan di sampingmu?” Kuan Jing kemudian bertanya: “Siapakah Dia?” Jawaban dari Guru Zen Xu Yun bagaikan petir di langit yang cerah. Dia berkata: “Sebenarnya, Dia adalah inkarnasi dari Bodhisatwa Quan Yin.” Pada saat itu, Guru Kuan Jing tiba-tiba menjadi tercerahkan; semua pertanyaannya terjawab.

Guru Yuan Guan berkata: “Apakah kamu tahu di mana pemberhentian berikutnya? Itu adalah Surga Barat. Jangan tunda lebih lama lagi, jika kamu menunda lebih lama lagi, tidak akan ada waktu lagi.” Surga Barat yang disebutkan dalam ajaran Buddha Mahayana adalah sebuah Tanah Suci di mana Buddha Amitābha, Bodhisatwa Avalokiteshvara dan Bodhisatwa Mahāsthāmaprāpta bersemayam bersama-sama. Di tengah-tengah pemandangan indah itu terdapat sebuah gunung emas yang megah. Mereka berdua berjalan ke depan gunung emas itu dan berhenti. Guru Agung Yuan Guan berkata: “Di sinilah kita! Buddha Amitābha berada tepat di depanmu, bisakah kamu melihatnya?” Guru Kuan Jing menggelengkan kepalanya dengan bingung: “Aku tidak melihat apa-apa.” Guru Yuan Guan tersenyum dan berkata: “Kamu sedang berdiri di bawah kaki Buddha Amitābha.”

Guru Yuan Guan segera mendesak Guru Kuan Jing untuk segera berlutut dan memohon berkah dari Buddha Amitābha. Guru Kuan Jing segera berlutut dan berdoa dengan tulus. Saat dia berdoa, dia merasakan tubuhnya semakin tinggi dan tinggi, sampai mencapai pusar Buddha Amitābha, kemudian dia melihat Wujud yang sebenarnya. Buddha Amitābha benar-benar berdiri di hadapan-Nya. Dia melihat Buddha Amitābha berdiri di atas panggung teratai yang memiliki banyak sekali tingkatan. Di setiap tingkat kelopak bunga teratai terdapat stupa-stupa yang indah. Melihat lebih jauh lagi ke kejauhan, Guru Kuan Jing melihat seluruh pemandangan Surga Barat. Dia hanya melihat pemandangan indah di dalam, lapis demi lapis, megah dan menakjubkan. Dalam kata-kata Guru Kuan Jing berikutnya, bahkan jika dia ingin menggambarkan seluruh pemandangan indah di sini, dia khawatir 7 hari 7 malam tidak akan cukup.

Pada saat itu, Guru Agung Yuan Guan berubah kembali ke wujud asli-Nya sebagai Bodhisatwa Quan Yin. Tinggi-Nya hampir setinggi bahu Buddha Amitābha, seluruh tubuh-Nya transparan dan memancarkan ribuan berkas Cahaya. Guru Kuan Jing tiba-tiba bangun dan segera berlutut di hadapan Buddha Amitābha, memohon kepada-Nya untuk memberkatinya agar terbebas dari kelahiran dan kematian. Buddha berkata kepada Bodhisatwa Quan Yin: “Ajaklah dia berkeliling.”

Di Kolam Teratai dengan tingkat tertinggi, Guru Kuan Jing melihat Guru Agung Yin Guang, salah satu biksu agung di era Republik Tiongkok. Setelah mengunjungi Kolam Teratai, Guru Kuan Jing berpamitan kepada Buddha Amitābha, melangkah ke atas bunga teratai, dan terbang menjauh dari Tanah Suci, kembali ke Aula Arhat Surga Tengah. Seorang pemuda membawa semangkuk air, dan Guru Kuan Jing tertidur setelah meminumnya. Ketika dia terbangun, semua pemandangan yang indah itu telah lenyap. Istana emas itu masih bersinar dan Bodhisatwa Quan Yin masih terpatri di dalam benak Guru Kuan Jing, jelas di depan matanya. Namun, dia mendapati dirinya sedang duduk di dalam Gua Maitreya yang gelap di Gunung Jiuxian.

Guru Kuan Jing menunggu di dalam gua itu selama tiga hari sebelum benar-benar kehilangan harapan. Kemudian dengan sedih dia berjalan menuruni gunung. Guru Kuan Jing dengan sedih berjalan menuju Kuil Mai Xie Yan; di sepanjang jalan banyak orang datang dan pergi. Saat berjalan, Guru Kuan Jing semakin merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia tidak bisa mengatakan apa itu. Tiba-tiba, dia melihat banyak tanda aneh muncul di jalan. Guru Kuan Jing bertanya kepada orang yang lewat dan terkejut – ternyata saat itu sudah tanggal 8 April 1973. Dengan kata lain, Guru Kuan Jing berada di Tanah Suci selama satu hari, tetapi di dunia manusia, 6 tahun 5 bulan telah berlalu. Setelah mendengar Kepala Wihara menceritakan pengalaman misterius ini, para biksu di Wihara Mai Xie Yan sangat tercengang. Sejak saat itu, mereka berlatih dengan lebih tekun lagi.

Hal ini mirip, hampir sama dengan pengalaman beberapa murid-Tuhan saya ketika mereka pergi mengunjungi Surga Barat Buddha Amitābha.

Photo Caption: Selamat Tinggal Penuh Cinta dan Kesedihan!

Unduh Foto   

Bagikan
Bagikan ke
Lampirkan
Mulai pada
Unduh
Mobile
Mobile
iPhone
Android
Tonton di peramban seluler
GO
GO
Prompt
OK
Aplikasi
Pindai kode QR, atau pilih sistem telepon yang tepat untuk mengunduh
iPhone
Android